Nikah dengan bermodalkan cinta sudah cukup. Prinsip ini umumnya dianut
oleh mereka yang dirasuki cinta buta. Cinta dianggap segala-galanya. Prinsip
itu tidak salah namun tidak sepenuhnya benar. Rumah tangga sebenernya
membutuhkan banyak penopang, diantaranya harta dan cinta itu sendiri selain
pondasi agama yang paling vital. Tak dapat dipungkiri, materi diantara tonggak
terpenting bagi tegaknya sebuah rumah tangga. Karena jarang yang bisa bertahan
dalam himpitan ekonomi apalagi dalam waktu yang relatif lama.
Adalah suatu
kekeliruan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa kehidupan suami istri akan
senantiasa membuahkan keindahan dan kasih sayang meskipun dalam kondisi krisis.
Hanya karena ambisi mendorong pada impian dan haeapan, sehingga faktor ekonomi
tidak menjadi pertimbangan utama. Padahal Rasulullah SAW dengan tegas
menyatakan bahwa nikah itu harus siap lahir bathin termasuk didalamnya materi.
“wahai golongan
pemuda! Siapa saja diantara kamu yang telah mempunyai kemampuan lahir dan
bathin untuk menikah, maka hendaklah dia nikah. Sesungguhnya nikah itu dapat
menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka siapa yang belum mampu,
hendaklah dia shaum karena shaum itu membentengi nafsu”. (HR. Bukhori-Muslim).
Karena itu
alangkah bijaksananya jika rencana menikah itu disertai persiapan materi yang
matang juga. Nikah dalam kondisi yang menganggur atau saat masih belajar sangat
rawan dan krisis. Apalagi jika pernikhan itu tidak melibatkan orang-orang
penting (orang tua) yang sewaktu-waktu dapat diminta bantuannya jika lagi
krisis ekonomi.
Rumah tangga yang
tidak memiliki pondasi materi sedikit pun sama saja menjerumuskan diri pada
lembah perceraian. Sebulan atau dua bulan bisa saja bertahan, tapi lambat laun
rumah tangga itu keropos juga.
Nafkah kewajiban
suami.
Rasulullah SAW
bersabda yang artinya, “mereka (para istri) berhak mendapat belanja dari kamu
dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Muslim)
Menafkahi istri
adalah kewajiban suami. Karena itu suami wajib mencari dan menyediakan nafkah
untuk istrinya. Lebih baik jika pencarian nafkah itu dirintis sebelum menikah.
Setelah menikah apa yang telah dirintis itu dapat ditingkatkan. Selain itu
mencari nafkah pasca pernikahan harus lebih ditingkatkan karena kebutuhan rumah
tangga cukup besar.
Firman Allah
dalam surat Ath Thalaq ayat 6-7 yang artinya. “tempatkanlah mereka (para istri)
dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara
kamu (segala sesuatu), dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rejekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ayat ini sebagai
dalil wajibnya seorang suami mencari nafkah untuk istrinya, jika nafkah tidak
terpenuhi berarti suami istri tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai suami.
Bahkan seandainya harta suami banyak tapi tidak dipakai menafkahi istri, maka
istri berhak mangambil sesuai kebutuhan.
Sabda Rasulullah
SAW yang artinya : “Dari Aisyah ra bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya:
wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang orang yang kikir, ia
tidak mau memberi nafkah kepada aku dan anakku sehingga aku mengambil dari
hartanya tanpa sepengetahuannya. Maka Rasulullah bersabda : “ambilah apa yang
mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Bukhori-Muslim).
Sabar Saat
Krisis.
Dalam kondisi
ekonomi yang tengah dilanda krisis, bukan ahanya suami yang di tuntut bekerja
keras mencarri nafkah, istripun dituntut perannya meringankan beban suami.
Caranya dengan berhemat dan sabar. Sabar maksudnya adalah menerima hal itu
adalah sebagai cobaan dan tidak menuntut macam-macam.
Kesabaran penting
artinya sebagai upaya menyadarkan diri bahwa hidup tidak selamnya ada
dipermukaan, suatu waktu kita tenggelam dalam krisis. Memang inginnya hidup
dalam kecukupan selama-lamanya. Tapi Allah memiliki kehendak lain. Cobaan akan
datang silih berganti.
Firman Allah SWT
yang artinya :”dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lillahi wa innaa ilahi raaji’uun”.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari tuhan
merek, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah:
155-157)
Ayat ini sebagai
kabar gembira bagi mereka yang tetap sabar dalam kondisi sulit. Sabar untuk
tidak menuntut cerai. Sabar untuk tetap beribadah, sabar untuk tetap berkhidmat
pada suami dalam situasi dan kondisi apapun terutama dimasa-masa sulit.
Sabar bukan
berarti diam berpangku tangan, tapi kerja keras dan selalu evaluasi diri baik
saat sukses maupun saat rugi. Allah menjanjikan rizki yang banyak dirumah
tangga jika benar-benar tekun berusaha.
Firman Allah
dalam surat An Nuur ayat 32 yang artinya: “dan (segeralah) menikah orang-orang
yang masih sendirian diantara kamu, dan hamba-hamba sahaya yang saleh baik
laki-laki maupun perempuan. Jika mereka itu golongan miskin, Allah akan
memberikan kemampuan lepada mereka atau karunianya. Allah maha luas lagi maha
mengetahui.”
Umar bin Khatab
berkata yang artinya: “saya heran kepada orang-orang yang belum menikah karena
(alasan) takut miskin dan tidak mau mencari kekayaan melalui pernikahan,
padahal Allah ta’ala telah menjamin mereka” (Imam Qurtubi, Al Jamu’ul Ahkamil
Qur’an)
Komentar
Posting Komentar