Berumah Tangga Cukup Bermodal Cinta ????






              Nikah dengan bermodalkan cinta sudah cukup. Prinsip ini umumnya dianut oleh mereka yang dirasuki cinta buta. Cinta dianggap segala-galanya. Prinsip itu tidak salah namun tidak sepenuhnya benar. Rumah tangga sebenernya membutuhkan banyak penopang, diantaranya harta dan cinta itu sendiri selain pondasi agama yang paling vital. Tak dapat dipungkiri, materi diantara tonggak terpenting bagi tegaknya sebuah rumah tangga. Karena jarang yang bisa bertahan dalam himpitan ekonomi apalagi dalam waktu yang relatif lama.
                Adalah suatu kekeliruan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa kehidupan suami istri akan senantiasa membuahkan keindahan dan kasih sayang meskipun dalam kondisi krisis. Hanya karena ambisi mendorong pada impian dan haeapan, sehingga faktor ekonomi tidak menjadi pertimbangan utama. Padahal Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan bahwa nikah itu harus siap lahir bathin termasuk didalamnya materi.
                “wahai golongan pemuda! Siapa saja diantara kamu yang telah mempunyai kemampuan lahir dan bathin untuk menikah, maka hendaklah dia nikah. Sesungguhnya nikah itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka siapa yang belum mampu, hendaklah dia shaum karena shaum itu membentengi nafsu”. (HR. Bukhori-Muslim).
                Karena itu alangkah bijaksananya jika rencana menikah itu disertai persiapan materi yang matang juga. Nikah dalam kondisi yang menganggur atau saat masih belajar sangat rawan dan krisis. Apalagi jika pernikhan itu tidak melibatkan orang-orang penting (orang tua) yang sewaktu-waktu dapat diminta bantuannya jika lagi krisis ekonomi.
                Rumah tangga yang tidak memiliki pondasi materi sedikit pun sama saja menjerumuskan diri pada lembah perceraian. Sebulan atau dua bulan bisa saja bertahan, tapi lambat laun rumah tangga itu keropos juga.
                Nafkah kewajiban suami.
                Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “mereka (para istri) berhak mendapat belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Muslim)
                Menafkahi istri adalah kewajiban suami. Karena itu suami wajib mencari dan menyediakan nafkah untuk istrinya. Lebih baik jika pencarian nafkah itu dirintis sebelum menikah. Setelah menikah apa yang telah dirintis itu dapat ditingkatkan. Selain itu mencari nafkah pasca pernikahan harus lebih ditingkatkan karena kebutuhan rumah tangga cukup besar.
                Firman Allah dalam surat Ath Thalaq ayat 6-7 yang artinya. “tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rejekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
                Ayat ini sebagai dalil wajibnya seorang suami mencari nafkah untuk istrinya, jika nafkah tidak terpenuhi berarti suami istri tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai suami. Bahkan seandainya harta suami banyak tapi tidak dipakai menafkahi istri, maka istri berhak mangambil sesuai kebutuhan.
                Sabda Rasulullah SAW yang artinya : “Dari Aisyah ra bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya: wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang orang yang kikir, ia tidak mau memberi nafkah kepada aku dan anakku sehingga aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Maka Rasulullah bersabda : “ambilah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Bukhori-Muslim).
                Sabar Saat Krisis.
                Dalam kondisi ekonomi yang tengah dilanda krisis, bukan ahanya suami yang di tuntut bekerja keras mencarri nafkah, istripun dituntut perannya meringankan beban suami. Caranya dengan berhemat dan sabar. Sabar maksudnya adalah menerima hal itu adalah sebagai cobaan dan tidak menuntut macam-macam.
                Kesabaran penting artinya sebagai upaya menyadarkan diri bahwa hidup tidak selamnya ada dipermukaan, suatu waktu kita tenggelam dalam krisis. Memang inginnya hidup dalam kecukupan selama-lamanya. Tapi Allah memiliki kehendak lain. Cobaan akan datang silih berganti.
                Firman Allah SWT yang artinya :”dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lillahi wa innaa ilahi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari tuhan merek, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)
                Ayat ini sebagai kabar gembira bagi mereka yang tetap sabar dalam kondisi sulit. Sabar untuk tidak menuntut cerai. Sabar untuk tetap beribadah, sabar untuk tetap berkhidmat pada suami dalam situasi dan kondisi apapun terutama dimasa-masa sulit.
                Sabar bukan berarti diam berpangku tangan, tapi kerja keras dan selalu evaluasi diri baik saat sukses maupun saat rugi. Allah menjanjikan rizki yang banyak dirumah tangga jika benar-benar tekun berusaha.
                Firman Allah dalam surat An Nuur ayat 32 yang artinya: “dan (segeralah) menikah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, dan hamba-hamba sahaya yang saleh baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka itu golongan miskin, Allah akan memberikan kemampuan lepada mereka atau karunianya. Allah maha luas lagi maha mengetahui.”
                Umar bin Khatab berkata yang artinya: “saya heran kepada orang-orang yang belum menikah karena (alasan) takut miskin dan tidak mau mencari kekayaan melalui pernikahan, padahal Allah ta’ala telah menjamin mereka” (Imam Qurtubi, Al Jamu’ul Ahkamil Qur’an)

Komentar