ALASAN MENGAPA JOMBLO TIDAK BOLEH MENDAKI GUNUNG


Beberapa bulan lalu, negeri jomblo kembali berduka cinta cita—Eri Yunanto (21), mahasiswa Atmajaya Yogyakarta, jatuh ke kawah Merapi. Eri jatuh saat hendak turun dari Puncak Garuda, puncak tertinggi dan menjadi simbol kebanggaan para pendaki Merapi. Kepergian Eri turut pula mengingatkan saya kepada Gie, salah satu tokoh jomblo revolusioner negeri ini.
Soe Hok Gie, atau biasa disapa Gie, meninggal di Gunung Semeru tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-26. Seorang anak muda berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya. Jika kalian sudah membaca catatan yang ditulis oleh Gie, betapa Catatan Seorang Demonstran merupakan buku yang wajib dibaca oleh para jomblo revolusioner.
Dalam kurun waktu terakhir, saya menyaksikan berbondong-bondong anak muda pergi ke gunung. Entah ingin mencari kesunyian atau sekadar ingin jalan-jalan, mengusir penat dengan cara selfie dan menunjukkan ke khalayak ramai: untuk kamu, kapan naik gunung sama aku?
Ah, rasa-rasanya saya ingin mengutuk diri saya sendiri. Sebab sebagai anak muda yang kesepian, saya lebih ingin menziarahi sepi ini ke pantai daripada ke gunung. Lalu bersama desir angin dan suara debur ombak, saya bacakan sebuah kalimat yang ditulis oleh Gie (Catatan Seorang Demonstran, Selasa 11 November 1969), “Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa.” Sebuah kalimat yang lebih cocok ditujukan kepada mantan-mantan saya daripada ke tempat yang sepi, bahkan di depan gedung MPR-DPR sekalipun.
Sebelum saya makin melankolis, berikut alasan mengapa jomblo tidak boleh naik gunung:
1. Bahaya.
Mungkin Nietzche telah berhasil mengubah paradigma para jomblo jelata tentang mendaki gunung. Ya. Ia telah berhasil menjawab pertanyaan yang dibuat sendiri dalam puisinya yang berjudul Naik, “Kiat terbaik mendaki gunung? Naik saja! Jangan direnung!” Ya, naik saja, jangan direnung! Tapi tahukah kalian bahwa seorang jomblo revolusioner tak boleh menelan kalimat bulat-bulat? Mengenal Nietzche paling tidak harus lebih dahulu membaca buku-buku filsafat, minimal ya filsafat ketuhanan.
Mendaki gunung pun sama seperti membaca buku filsafat ketuhanan. Bahaya. Kalau akal tak sampai, bisa jadi berbalik dan membikin diri menjadi gila. Ini lebih berbahaya daripada mati pelan-pelan karena mantan tak mau diajak balikan. Oleh karena itu, seberapa besar nyalimu mendaki gunung, kegiatan macam ini sungguh-sungguh berbahaya. Yang lebih berbahaya yaitu jika kamu mendaki gunung sambil mengajak selingkuhan, lalu ternyata si pacar juga sedang mendaki bersama teman-temannya. Kamu serta selingkuhanmu bertemu dengan pacarmu, jangankan sampai di puncak, baru mau buka tenda saja kalian telah terperosok ke dalam jurang kecerobohan.
2. Boros kantong.
Dari info yang saya dapat, baik lewat fitur mesin pencari maupun teman-teman yang baru-baru ini mendaki Semeru, perkiraan biaya untuk menjamah Semeru pulang-pergi dari Jakarta sekitar limaratus ribu rupiah. Bayangkan, Mbloo. Kamu perlu mengeluarkan uang sekitar setengah juta hanya untuk (mungkin saja ya) selfie di atas gunung. Mau jomblo jelata mau jomblo sosialita, tentu uang segitu banyak lebih mulia bila disumbangkan ke panti jomblo.
Sebagai seorang jomblo yang hidupnya serba ‘ekonomis’, kegiatan mendaki gunung sudah sepatutnya mendapat nomor urut sekian ribu. Jangankan mendaki gunung, wong ngajak makan gebetan sekaligus jalan-jalan saja mesti dipikir matang-matang. Belum lagi buat makan sehari-hari, bayar cicilan rumah (kalau punya), juga menabung untuk biaya nikah nanti (kalau masih kepengin nikah). Harga kebutuhan sudah pada naik, tapi pajak masih juga jadi tanggungan rakyat. Memang rakyat wajib bayar pajak. Tapi kalau pajaknya malah masuk ke kantong-kantong orang bejat, gimana?
Ya, jangankan buat mendaki gunung. Buat patungan menggelar demo di depan gedung MPR-DPR saja susahnya minta ampun.
Yakinlah, Mbloo. Jalan revolusi bukan terletak pada seberapa berani kamu menaklukkan gunung-gunung tinggi dan tebing-tebing curam. Tapi seberapa mampu kamu mengikhlaskan kepergian mantan. Ikhlas karena barang-barang yang telah diberikan berasal dari uang tabungan, bahkan harus rela menjahit kembali luka akibat boros kantong.
3. Di gunung tak ada Chelsea Islan.
Ya Tuhan… Betapa senyuman Chelsea Islan mampu menggantikan pemandangan di atas puncak. Tapi sayang, kita takkan menemuinya sekalipun ia sedang syuting di gunung. Seakan ada jarak yang membentang luas selayak Sungai Bengawan Solo yang panjangnya lebih panjang dari penderitaan seorang jomblo.
Jadi masih mau ke gunung? Tak ada Chelsea Islan di sana, Mbloo. Jangankan Chelsea Islan, dedek-dedek gemes JKT48 juga tak akan kau temui di gunung sana. Ha? Apa? Maudy Ayunda? Apa lagi! Sudah, pokoknya mereka cukuplah jadi pahlawan jomblo di dunia maya. Karena pada kenyataannya, seperti Gie bilang, “Kita tak pernah menanamkan apa-apa. Kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa.”
Eh, bacanya jangan pake serius banget gitu, mblo!

Komentar