"Ibu" Maafkan aku






       Aku melihat seonggok tubuh terkulai di sudut kamar, tertegun di sana bersama lamunan lamunan kosong. Aku tidak dapat melihat jelas raut wajahnya, apakah ia sedang bersedih? Atau ia sedang merasakan keadaan di luar normal? Namun untuk apa aku menduganya sedemikian ramai, ia sendiri hanya diam seolah termangu dan tidaklah mempedulikan sekitar.
      Pada gerak berikutnya perempuan itu memungut kebaya yang sebelumnya sudah terbuang dilantai, mencoba memakainya kembali. Baru sebagian dari kebaya itu ia kenakan, tiba-tiba muncul sesosok lelaki dewasa berpakaian perlente menghampiri. Tanpa ba bi bu lelaki itu langsung mendekap erat tubuh didepannya. Seolah melepas rindu yang telah lama tak ia jumpai. Perempuan itu berserah diri tetapi tetap memiliki daya kontrol agar isak tangis dan guratan sedihnya tidak terbaca. Keduanya saling mesra, seperti halnya kemesraan raga dengan bayangan.
       Si lelaki menganggap perempuan itu hanya sebagai ladang benih bagi masa depannya. Maka keringat yang tercucur baginya adalah buah perjuangan menuju itu, sama seperti keringat para pendaki gunung dan penambang emas yang terjebak di dalam gua. Hitungan menit kemudian, si lelaki keluar ruangan dengan sedikit tergesa-gesa, meminta pamit.
       Aku bingung menyaksikan itu semua. Sekan aku turut menikmati penyajian mereka namun menikmati apa? Aku merasa begitu terguncang. Aku segera berlari menemui perempuan itiu ketika akan mengenakan kembali kebayanya. Perempuan itu kaget melihatku, seperti terheran-heran karena tidak biasanya ia dihampiri lelaki setengah dewasa sepertiku. Menyadari itu akupun segera menyapanya.
       Hai? Maaf mengagetkanmu, boleh aku mengetahui lebih banyak tentangmu dan keberadaanmu ditempat seperti ini? Apa yang sedang kamu lakukan? Kataku.
       “panggil saya ibu!” jawabnya dengan ekspresi muka penuh kemarahan.
       “ibu?” tanyaku heran.
       “ya!” kamu masih terlalu muda untuk datang ketampat ini, tidak ada kepantasan sama sekali jika saya melayanimu disini!.
       Aku kaget kaget mendengar jawabannya, dengan sungkan aku aku memaksakan diri dan kembali bertany kepada perempuan yang sudah mengenakan kembali kebayanya. Oh, beribu maaf ibu, aku hanya ingin mengetahui apa yang sedang ibu lakukan di tempat ini? Apakah ini sebuah bilik pelacuran?”
       “bukan!” bantahnya tegas.”
       “tetapi tadi aku melihat begitu banyak orang-orang bergiliran memasuki tempat ini? Dan kesemuanya itu adalah laki-laki?”
       “ya benar, tetapi saya melayani mereka semua dengan kasih sayang tulus seorang ibu, mereka semua adalah anak-anak saya, dan saya akan melakukan apapun agar anak-anak saya bahagia.”
       “anak-anak ibu? Tetapi mereka melakukan hal yang tidak pantas kepadamu? Kenapa ibu tidak marah diperlakukan seperti itu dan terus melayani mereka tanpa pernah usai?”
       “karena mereka adalah anak-anak saya! Apa kamu tidak denga?” perempuan itu nampak jengkel.
       “tetapi kenapa harus melayani anak-anakmu dengan cara seperti itu? Apa tidak ada cara yang lebih pantas?” aku ngeyel dan terus mencerca pertanyaan kepadanya.
“watak anak-anakku berbeda-beda, tingkah dan kemauannyapun beragam. Anak-anakku tersebar diseluruh penjuru negeri ini, dan saya dapat menemuinya dimanapun! Entah itu disekolah, pasar, masjid, gereja, terminal, geudng perkantoran, bahkan istana negara,” jawabnya mantap/
      “ada berpa banyak anak-anak ibu?” “tak terhitung!” “lantas siapa bapak dari merek?” “Tuhan”
      Hampir pingsan aku mendengar jawabannya itu. “apa Tuhan mempunyai istri? Gila!” “lho kenapa? Mereka semua terlahir atas izin Tuhan. Atas kemauan Tuhan, dan mereka semua terlahir dari rahimku juga atas ketentuan Tuhan.” “lalu siapa yang menciptakan ibu?” “ya tentu Tuhan juga! Tuhan mengambilkan tanah dari surga dan Tuhan ciptakan ibu!.” “aku bingung bu, sungguh!” perempuan itu tersenyum mendengar ucapanku, tiba-tiba ia merangkul, membelai rambutku enuh kasih sayang.
      Sudahlah nak, aku ini juga ibumu! Aku memaklumi kalau kamu bingung, dan mereka semua yang kamu lihat hadir menemuiku adalah saudara-saudaramu. Namun bedanya mereka mengenaliku dan memperlakukan dengan cara yang salah, tetapi kamu nak! Kamu masih punya harapan untuk lebih bisa mengenaliku dan memilikiku dengan cara yang baik.”
Entah apa yang membuatku merasa nyaman bersamanya, sebuah sikap yang tidak asing bagiku.” “nama ibu siapa? Tanyaku dalam pangkuannya.
Namaku ibu Pertiwi
Ibu Pertiwi? “ya, ibu yang menyusuimu, tanah air yang akan menghidupimu nak!” ujarnya dengan penuh keyakinan.
“tanah? Air? Tanah ini? Air ini?” aku berfikir keras dengan nurani kusertakan, lalu nurani itu berkata.
“maafkan aku ibu, tidak ada yang bisa aku perbuat unntuk membantumu, bahkan akupun tidak mengenalimu.”
“tidak apa nak, aku hanya ingin kamu memperlakukan dirimu sendiri dengan baik, agar lebih bisa mengenaliku sebagai ibumu juga dengan cara yang baik.tidak dengan cara seperti sebagian kakak-kakakmu!”
“sudahlah, mari kita pulang” sambungnya.
“pulang kemana?” tanyaku heran.
“kepada kesadaran” jawabnya santun.
Sontak aku terbangun, matahari sudah mengetuk mataku.

Komentar