Nur
menatap kolam ikan dari balik jendela kamanya. Sejauh mata memandang, ikan-ikan
didalamny bernenang riang. Tak seperti manusia yang dibungkam aturan-aturan,
ikan-ikan dikolam tak pernah berurusan dengan aturan-aturan. Mereka berenang
bebas tanpa hambatan. Di atas permukaan airnya, teratai mengambang halus. Teratai-teratai
basah mengambang halus. Teratai-teratai basah mengambang dengan resah.
Gorden diruang cempaka terbuat dari
kain perca berwarna merah muda. Sepasang mata Nur masih memandang warna gorden
itu tanpa berkedip. Dari balik jendela, ia bisa melihat siapa saja yang akan
datang ke kamarnya sebab itulah satu-satunya jalan menuju pintu utama kamar.
Sejak dini hari Nur memandang,
semenjak itu pula ia gelisah, orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Dada
Nur semakin sesak. Hari ini adalah hari terakhir ia di rawat, tapi yang
ditunggunya tak kunjung jua tiba, ada kembang dan juminten yang di sana. Mereka
sama-sama baru melahirkan. Bedanya kembang baru masuk kemarin siang dan
juminten sudah limah haru dirawat. Keduanya masih sangat muda.
“Sudah baikan, Nur?” Juminten duduk
di tempat tidur sambil menikmati buah apel yang dibawa sanak saudaranya.
“makanlah buah apel ini. Enak
rasanya” Juminten mengangkat buah apel yang dikupasnya sendiri.
Nur menggeleng. Ia tak ingin bangun
dan makan hari ini. “Ya sudah kalau tidak mau” Juminten kembali melahap sisa
apelnya.
“Anakmu sudah boleh kau gendong,
Nur?” tanya Kembang. Ia masih menyelimuti seluruh tubuhnya, mungkin kedinginan,
Nur mengangkat kedua bahu, pertanda tidak tahu.
Dalam hitungan detik, terdengar
derap langkah seseorang menuju ruang cempaka. Ibu Nur, Nani, muncul bersama
anak yang dilahirkan Nur dua hari yang lalu. Nur segera duduk dan menggendong
anaknya. Juminten dan kembang saling senyum dan berucap gembira. Ini kali pertama
Nur melihat sang anak. Nur membuka selimut bayi kecilnya, bayi itu menggeliat,
lantas menguap. Nur menamainya Annisa. Banyak doa yang disematkan Nur pada
anaknya.
Rasa senang Nur tidak bisa
digambarkan lewat kata-kata. Nur menangis saat anaknya minta disusui. Nani
hanya tersenyum, begitu juga dengan Kembang dan Juminten, mereka terlihat riang
gembira. Sampai Nur menyadari sesuatu. Sambil menyusui anaknya, ia menatap jauh
kedalam mata Nani.
“Mbah kakung, Bu?”
Nani menghela nafas.
“beliau ndak akan kesini nduk” Nur
tertunduk.
“Kakak iparmu itu ustadz, Nur, ndak
sepantasnya sampean iku nakal. Ingat keluarga, Nur, ndelok ibumu. Sampean mau
masuk neraka ?”
Suara mbah kakung terngiang-ngiang
di kepala Nur. Sejak kecil, diasuh mbah kakung sampai ia besar dan mengenal
Dhani. Dalam waktu singkat, Nur tiba-tiba melahirkan anak yang kini ia susui.
Masjid dikampung memang dikelola Bapak Muhammad, kakak ipar Nur, beliau tamatan
pesantren di pulau jawa yang paling terkenal. Nur lupa nama pesantrennya. Tapi Nur
sangat tau bahwa ia sangat menguasai ilmu agama Islam dan disukai warga sekitar
sebab pribadinya yang ramah dan cerdas. Mbah kakung juga kerap disebut nyai
yang kadang-kadang dimintai ceramah ke sekolah-sekolah.
“Beneran ndak kesini bu? Dengan nada
putus asa, dilontarkanlah pertanyaan itu pada ibunya. Bayangan Dhani berkelebat
diatas kepalanya. Memang sudah lama Nur menyesali perbuatannya.
“Nggih Nduk. Mbah kakung menangis
menangis pas selesai sholat subuh tadi. Beliau menyebut namamu dalam doanya.” Nani
dengan tenang berganti menimang Annisa. Ia terlalu sabar untuk menjadi seorang
nenek juga ibu, sekaligus janda yang ternyata dimadu.
Ruang cempaka tiba-tiba hening. Nur memandang
keluar jendela lagi. Pelan-pelan ia menghirup udara disekitar. Annisa
disepannya dan penyesalan tak berkesudahan menemani menyisakan rintik hujan
jatuh ke tanah, membuat ikan-ikan berenang tak tentu arah, membasahi
teratai-teratai yang mengambang dengan resah.
Komentar
Posting Komentar