Verboden
Toegang Voor Honden en Inlander, kalimat yang berarti “anjing dan pribumi di
larang masuk” itu dulu terpampang di kolam renang-kolam renang pada zaman
penjajahan Belanda. Dulu, kita pernah disamakan dengan anjing. Disamakan dengan
anjing, bukan semata-mata karna kita bangsa jajahan. Bukan pula kaena kita
berperang dengan panah dan keris melawan Belanda yang mengokang bedil.
Melainkan karena dulu kita dianggap bodoh dan terbelakang oleh bangsa belanda.
Bukan hanya wilayah Indonesia
saja yang dijajah dan kekayaannya diperas, tapi kepribadianpun ikut terjajah.
Pada kondisi demikian, rakyat Indonesia tak ubahnya barang perkakas yang
menjadi hiasan kekuasaan penjajah. Memasuki kemerdekaan Indonesia yang ke 70
sampe sekarang ini, peringatan tulisan itu sudah tidak ada lagi di bumi
Nusantara ini. Namun pesan dan roh dari tulisan itu masih terasa adanya. Hal
itu akan terjadi bila bangsa ini terbelakang, bodoh, jumud, dan korup.
Sebagian masyarakat Indonesia
ada terbelakang, bukan karena mereka tidak berpendidikan tinggi, tapi karena
hilangnya jiwa Nasionalis dan patriotis dari dada mereka. Bahkan, disalah satu
televisi swasta, ada salah seorang pejabat yang berucap “Bangsa ini terlalu
kaya untuk bisa bangkrut”.
Gerakan Pemuda
Verboden Toegang Voor Honden en
Inlander. Kalimat diskriminatif itu juga mengusik keadilan para pemuda ketika
itu. Dalam usia sangat muda mereka mengepalkan tinju untuk melawan
ketidakadilan.
Antara lain Ki Hajar Dewantoro
yang pada usia 19 Tahun aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo.
Tulisan-tulisannya menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya
hidup bernegara. Dr Cipto Mangunkusumo
masih berusia 26 tahun saat mendirikan Indische Partij, setelah
sebelumnya Intens mengkritik pemerintah Belanda di media. Jendral Soedirman
masih berusia 29 tahun saat dilantik menjadi Jendral hingga beliau wafat di
usia 34 tahun. H Agus Salim masih berusia 31 tahun saat bergabung dengan
serikat Islam, hingga menjadi pimpinan kedua setelah Cokroaminoto. Ada pula WR
Supratman yang masih berusia 21 tahun saat mencipta lagu Indonesia Raya.
Banyak lagi nama-nama lain yang
tidak bisa disebutkan disini. Penjajahan telah mendidik mata batin mereka. Bila
perang adalah pendidikan, bila penjajahan adalah pelajaran, maka jadilah ia
bara api yang banyak menghasilkan mutiara. Tampaknya, sekarang kita tidak akan
menemukan lagi pemuda-pemuda seperti itu. Pemuda-pemuda yang hati nuraninya
sering gelisah itu sulit kita temukan di kampus-kampus. Juga sulit kita bedakan
ditengah-tengah demonstrasi mahasiswa sekarang, yang sebagian –katanya- tidak
murni lagi.
Kini Nasionalisme dan
Patriotisme yang gagah itu hanya terlihat pada upaca kenaikan bendera.
Sekarang, nasionalisme seakan hanya ilusi, seperti setetes embun pagi diatas
daun didepan teras rumah anda. Bahkan mungkin sekarang sudah terlambat untuk
bicara nasionalisme. Matahari pagi sudah terbit, zaman globalisasi sudah
datang. Seiring dengan masuknya terpaan budaya dari barat yang kencang. Bukan
main kencangnya terpaan budaya itu. Musik Rock n Roll, mode fashion, film-film
Hollywood. Dan budaya MTV sudah memenuhi rongga kepala anak-anak muda ini.
Bukannya anti barat atau
konservatif. Tapi celakanya, terpaan budaya itu membuat pemuda kita lebih
Amerika daripada orang Amerika sendiri. Mendengarkan musik sambil bergaya
trendi, serasa sudah berada di New York. Padahal belum tentu pernah keluar
negeri. Andai saja mereka tahu sejarah, tentulah timbul kegelisahan di dada
mereka.
Wajah asli Indonesia tidak akan
anda dapatkan di Apartemen mewah kawasan Kuningan dan Sudirman di Jakarta itu,
atau hotel-hotel mewah, diskotik dan mal yang sering menjadi persinggahan kaum
berpunya, Indonesia adalah Aceh dan Nias yang terkena Tsunami. Ambon yang baru
perang saudara, dan Papua yang tertinggal pembangunannya. Bersamaan dengan itu,
ada golongan pemuda yang tak berpunya. Karena depresi dan lemahnya pemikiran
kerap kali dilindas roda zaman. Karena lemahnya, pendirian mereka gampang
dihasut ideologi sayap kiri, dan berbagai macam pemikiran sesat, ajaran Agama
sesat, penyimpangan dan rebelionisme. Mereka apatis terhadap kepemimpinan.
Disebabkan mereka sering menjadi objek dalam pemilu atau agenda setiap
pergantian kekuasaan.
Lemahnya Kepemimpinan.
Seorang pengamat sejarah pernah
mengkomentari raja Romawi, Julius Caesar yang selalu menang perang. Bukan
karena pedangnya yang sakti, atau legiuner tentara ataupun kekuasaannya. Bukan
pula karena mitos ia manusia setengah dewa. Kejayaan Julius Caesar bukan lain
karena kepemimpinannya, karena dia turut menghunus pedang bertaruh nyawa
bersama para prajuritnya. Bahkan pernah dikisahkan ia merelakan tenda
peristirahatannya sendiri untuk
digunakan merawat prajuritnya yang terluka. Dia bukan raja yang duduk di meja
besar mengatur strategi.
Saat itu silau mata dunia yang
memandang kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Tapi tidak tahu seberapa
besar kedekatan moral dan kesetiaan tentara kepadanya. Kecintaan pada pemimpin
seperti itu dulu pernah dimiliki bangsa ini, saat memerangi penjajah. Sejarah pernah
mencatat sumbangan spontan rakyat Aceh kepada Negara Kesatuann Republik
Indonesia (NKRI) berupa uang, perhiasan emas, serta harta benda untuk membeli
dua buah pesawat terbang, seulawah RI.
Sumbangan tersebut diberikan
dengansukarela sebagai tanda betapa besar ketulusan rakyat ketika itu. Kecntaan
itu pernah hadir karena ada contoh, panutan kedekatan, dan kepercayaan. Percaya
bila para pemimpinnya tidak akan menggiring mereka ke sebuah paham semu.
Percaya bila perang yang mereka perjuangkan akan dapat mengubah nasib anak cucu
dan keturunan mereka kelak nanti.
Percaya bila darahnya tercucur
dan nyawanya hilang, itu adalah lebih baik daripada hidup dibawah penjajahan.
Tidak ada modal lain dasar perjuangan bangsa di seluruh dunia selain tekad
baja, hati dan fikiran seorang leader yang mampu menggerakan. Sungguh-sungguh
menggerakan dengan hati nuraninya, bukan semata-mata dengan kekuasaan politik
formal.
Komentar
Posting Komentar