Bagiku,
berada ditengah kebisingan pusat perbelanjaan bukanlah jalan terbaik untuk
membuang waktu. Aroma dingin, memperhatikan manusia yang hilir mudik merontoki
moral. Pusat perbelanjaan ini tidaklah beda, ornamen ala barat dengan eskalator
yang menganga seolah mengajak kita terus membuang masa setiap waktunya. Di
lantai utama sisi pertama pertokoan ini menawarkan barang elektronik murah
berkualitas murah. Disisi barat dan selatan berisi semua jenis pakaian dengan
potongan harga yang tak seberapa, tapi
jangan kalian bayangkan betapa ramainya bagian itu. Kemudian disisi timurnya
bisa ditemui cafe pemadam kelaparan dan pemuas kehausan. Di lantai kedua yang
berbeda hanya disisi timur saja yang terdapat gedung bioskop. Di dalamnya bisa
kita temui pasangan muda mudi mencari kesempatan saling berpandangan. Saling
mengecup dan saling melumat. Hingga gusarnya membuat gelas minuman mereka
tumpah. Bioskop masih belum berubah fungsi, yakni sebagai tempat untuk sekedar
beradu bibir. Pelakunya dari bocah pelajar hingga manusia lanjut usia
seumuranku.
Mall masih menjadi tempat nyaman
bagi mereka yang bingung atau berpura-pura tak sadar bagaimana caranya
menghabiskan uang. Seolah memiliki magnet tersendiri. Tidak berduit rasanya
enggan untuk memarkirkan motor di Mal. Tak ada tempat untuk orang miskin dan
kucing bermimpi indah dibangunan ini. Kucing liarpun tak tampak di tong
sampahnya. Padahal banyak sekali tikus yang sedang mejeng asik menikmati diskon
dan bermandikan kopi mahal.
Menarik mata dari keramaian kafe,
aku mencari sekeranjang janji yang seseorang katakan beberapa minggu lalu. Mata
ini menyusuri setiap sudut kafe mahal. Dia memang selalu menolak untuk
mendaratkan lelah di warung sekitaran GOR atau kaki lima sepanjang jalan raya,
“kumuh. Jorok” katanya. Lelaki metro seksual yang satu ini memang agak
istimewa. Dia selalu mencibir setiap orang yang ditemuinya dan mencintainya di
akhir perjumpaan. Namun hal tersebut tidak akan terjadi padaku.
“Aku sadar Dew, mencintai
perempuan sinting dan bahkan hampir tidak percaya pada kelaminnya itu, bukan
orientasiku.” Katanya beberapa tahun lalu.
Mencermati kenangan bersamanya
di utara sisi cafe. Mencoba mengingat, sejak kapan aku mulai akrab dengannya.
Dari kejauhan aku mendapatinya sedang menyeruput segelas besar cappucino mint
sambil entah menelepon siapa. Dia melihatku dan melambaikan tangannya. Gigi
putih hasil rombakan dan rahang yang tegas. Aku selalu gagal menepis semua
tatapan padanya selepas kedatangannya dari jerman. Lelaki yang tidak pernah
puas dengan penampilan.
“Dew.... maaf agak terlambat.
Tekhnologi terlalu banyak penikmatnya jadi mau nggak mau harus antre seperti
diloket kereta apai,” ujar Alby sambil menyalami dan mendaratkan kecupan yang
tak asing. “Anyway, bagaimana kondisimu? Kemudian lelaki sial yang kamu
ceritakan lewat telepon?” tanyanya.
“Rano?”.
“Yeah, that shit! Lelaki bedebah
yang sudah mempermainkanmu dengan sok minder. Tapi ya sudahlah tidak usah
membahas kebodohan masa lalu, sementara kamu sedang menghadapi kebodohan yang
baru.”
Segelas besar iced asian dolce
latte menjadi menu kesukaanku dan Alby mengingatnya dengan baik.
“Selalu..” Senyumnya.
Ada baik yang lelaki ini tak
pernah lupakan saat pertama kali kita bertemu.
“Dew, selalu aku ingin kenal
kamu lebih dalam. Kamu tahu kan? Beberpa hari lalu aku dapat kabar kamu lulus
kemudian jadi barang titipan di intansi pemerintah. I can’t believe it, coba
jelasin ke aku gimana ceritanya? Kok kamu bisa nyemplung disitu?” tatapannya
tajam, di dera penasaran yang akut saat mendapatiku melakukan hal-hal yang
mustahi.
Aku sepakat pada alasan
profesionlitas kerja. Hal tersebut selalu aku junjung tinggi pada setiap gerak
idealisme kampus. Keruhnya pemerintahan saat ini tak membuatku ingin terjun di
dalamnya. Namun, impian akan kerja sosial yang aku torehkan pada catatan akhir skripsi
bukanlah jalan mudah dan aku yakin ini memanglah sulit. Sampai ini terjadi aku
tak pernah lagi memili harapan yang besar, harapan besar selalu memilik
penghalang yang besar dan tidak bisa aku langkahi.
Malam itu tak banyak yang aku
temui selain teman pemuji dan pengkritik. Beberapa sesapa dan teguran ciuman
penghangat menjadi sesaji. Namun, aku merasa asing malam ini. Ya, asing karena
kau belum juga mempunyai sesuatu yang bisa aku genggam. Di tengah keramaian
cafe, Alby menoleh padaku, kudapati dari wajahnya hendak mengoyak isi hatiku.
Ia mengaduk minumannya dengan sedotan dan membuka mulutnya kembali.
“Kamu selalu tergerus kesibukan,
membosankan.” Ada nada kekecewaan. Ya, kamu selalu kecewa dengan aktivitasku
kini.
“Bukan saatnya bermain-main,
Dew?” bernada rendah dan jauh dari aroma kemarahan.
Sambil meulai menyedot minuman
yang mulai mengembun, “Apa kamu tidak bisa menjadi merah di atas kakimu
sendiri?” aku perempuan yang hampir mencapai umur seperempat abad mulai didesak
beberapa cibiran miring. Aku adalah perempuan yang tidak lepa dari pandangan
miring dan pemaksaan, seperti inikah menjadi perempuan? Jangankan memilih untuk
menikah, memilih dalam bebas bekerja dimanapun rasanya sulit. Siapapun ingin
menjadi diri sendiri seutuhnya tanpa harus disetir oleh orang lain termasuk
orang tua. Tumbuh di lingkungan pekerja keras, aku tak bisa duduk santai
menikmati kopi dari hangat hingga dingin, tidur larut dan bangun pagi menjadi
kebiasaanku semenjak dinyatakan lulus juni lalu. Tubuh ini gontai, bagaimana
tidak, beberapa pekerjaan di kantor yang bengis ini tak ada waktu santai.
Pulang larut dengan tugas pekerjaan rumah yang juga ikut menumpuk.
Beberapa teman pernah mencibir.
“Lulus si cepat tapi ujung-ujungnya ngejilat pantat pemerintah, bah! Terpujilah
mereka yang lulus hampir DO.”
Sekutu yang manis, mereka
membuatku berfikir, apakah sebenarnya tujuanku menjadi bagian dari orang-orang
eksekutif? Hidup menghabiskan waktu diatas meja dengan sinar radiasi komputer
dan berlembar-lembar kertas. Suara ini
begitu parau saat meneriakkan kebebasan berfikir. Di lingkungan ini, di ruangan
ini, di dinding in. Kursi seolah menyempitkan sekat otakku, menjepit setiap kebebasan dan memenjarakanku
pada hukum normatif. Aku telah diizinkan memainkan peran-peran kecil. Namun
sungguh ini bukanlah inginku.
“Sesadar itukah kamu pada
keadaanmu kini Dew?” aku membalasnya dengan mengangguk. Aku amat tersadar.
Jeruji peraturan serta kebuasan para pencari dunia tak lagi pandang bulu. Pada
hari-hari itulah aku mulai belajar membaca, dalam bahasa kedustaan menerima.
Suatu hal yang ternyata telah aku nikamti.
“Siapa yang ingin berada dalam
diri orang lain?” aku menghindari sorot matanya.
“Dalam lakon cerita lain telah
terbukti mereka mampu, aku rasa kamu pun mempunyai kegelisahan yang sama, kamu
bisa keluar dari situasi seperti ini Dew,.”
Kopi ini sudah tandas tiga
gelas, satu jam membeku bersama alunan musik yang lama kelamaan bunyinya
seperti sengatan lebah yang masuk ke telingan yang membuat otakku mendidih.
Bagaimana tidak, lagu yang dialunkan adalah lagu sindiran untukku. Aku selalu
salah memilih cafe.
Malam macam apa ini, pertemuan
yang diharapkan memiliki kemesraan dengan sahabat lama malah menjadi bahan
penyudutanku.
“bukan obrolan ini yang aku
harapkan, sementara kamu tau aku tak menginginkan keadaan ini, mengertilah Al
!”
Dia mendekat, “lihat aku
baik-baik Dewi, aku tak pernah menyalahkan posisimu kini. Aku menyesali
kebengisanmu hilang. Kemana keberanianmu saat melontarkan ketidakadilan atas
nama kaum buruh itu?” dia berdecak.
“Selupa itukah kamu sekarang?
Sebuta itukah kamu sekarang? Ataukah
telingamu genap tuli sehingga tak bisa melawan apapun yang salah?”
Adakah yang harus aku katakan
selain ini bukan inginku juga bukan harapanku. Ini bukan soal pilihan dan juga
bukan soal ingin keluar dari manisnya uang licin. Bukan! Sesederhananya aku
hanya ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, dengan jalan mereka.
Biarlah jalan impianku menjadi jalan lain setelah aku telah memiliki arah yang
aman untuk ditapaki.
Merasa tak lagi nyaman, aku
hanya mendaratkan kecupan perpisahan.
“Dew, aku akan selalu
merindukanmu. Datanglah bila kamu merasa parau.”
Komentar
Posting Komentar