Jika apa yang terjadi pada sang pecinta adalah sebuah penyaksian dari balik tabir hingga mencapai keindahan puncak dan ia merasa tak mampu lagi untuk menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan tersebut, maka hatinya menjadi cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus memburu. Keadaan cemas seperti itulah yang disebut syawq (kerinduan). Sungguh kerinduan adalah sesuatu yang gaib.
Jika ia dikuasi oleh perasaan tentram dan bahagia luar biasa, karena berdekatan (bersama Allah) dan berhasil menyaksikan kehadiran-Nya melalui tersingkapnya tabir antara Dia dan dirinya, lalu pandangannya juga terfokus pada penyaksian keindahan yang hadir terungkap di hadapannya, tanpa menoleh kepada keindahan lain yang belum diketahui, maka hatinya akan diliputi perasaan senang dan gembira. Kegembiraan seperti inilah yang disebut uns (keintiman spiritual).
Lalu, jika pandangannya terfokus pada sifat keagungan dan kemandirian-Nya, sama sekali tak berpaling dari-Nya dan ia khawatir semua yang dirasakannya itu lenyap, menghilang atau menjauh, maka hatinya akan merasa pedih. Perasaan pedih semacam inilah yang disebut khawf (ketakutan).
Jadi, uns (keintiman spiritual) dalam konteks ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan hati karena menyaksikan keindahan. Lalu, ketika kegembiraan dan kebahagiaan itu benar-benar telah menguasai, tidak peduli terhadap segala hal yang telah menghilag, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak pada puncak tertingginya (uns).
Suatu ketika Syekh Ibrahim bin Adham turun dari gunung. Seseorang bertanya, “Darimana engkau, ya Syekh?” Lalu beliau menjawab, “Dari bersenang-senang (uns) dengan Allah.” Bersenang-senang dengan Allah menyebabkan dia merasa tidak membutuhkan kepada selain Allah. Bahkan, semua bentuk kendala yang merintangi khalwat menjadi beban di hati.
Diriwayatkan pula bahwa Musa a.s. berbicara dengan Allah SWT, beliau berdiam diri selama beberapa hari. Jika beliau mendengar seseorang berbicara, maka beliau langsung pingsan. Ini tidak mengherankan karena cinta hanya meniscayakan nikmatnya pembicaraan Sang Kekasih, juga nikmatnya berdzikir dan menyebut-Nya. Bagi sepotong hati yang dirasuki cinta, maka tak ada yang terasa nikmat selain Dia semata. Karena itu, seorang bijak berkata dalam alunan doa, “Wahai Dzat yang dengan menyebut-Nya hati jadi damai sentosa! Wahai Dzat yang membuat aku tak merasa butuh kepada makhluk-Nya.”
Rabiah Adhawiyah ditanya, “Dengan apa engkau bisa meraih kedudukan seperti ini?” Beliau menjawab, “Dengan meninggalkan apa yang tidak aku butuhkan dan rasa damaiku bersama Dzat yang tak pernah lenyap.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha
Komentar
Posting Komentar